Responsive Banner design

Definisi, Pengertian, Penjelasan, dan Maksud Dari Gene Silencing

Pengaruh abiotik dan biotik terhadap tanaman dapat memicu tanaman untuk melakukan sistem pertahanan khususnya terhadap patogen tanaman seperti virus, cendawan, bakteri maupun nematoda. Salah satunya adalah secara genetik melalui proses gene silencing. Gene silencing merupakan aktivitas dari proses ekpresi gen di dalam tanaman inang dalam menanggapi adanya patogen yang masuk ke dalam jaringan. Gene silencing merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengnonaktifkan aktivitas gen (Fire 1999; Waterhouse et al. 2001; Dinesh-Kumar et al. 2003; Hewezi & Baum 2015).

Gene silencing sebagai salah satu respon tanaman dalam menanggapi patogen-patogen dengan melibatkan kerja bagian gen-gen tertentu. RNA merupakan fase gen yang menjadi “kunci” selama proses pembungkaman sel. RNA yang mempengaruhi gen target dikenal dengan istilah RNA interference (RNAi). Oleh karena itu, gene silencing juga dikenal dengan nama RNA silencing (Hannon 2002; Mello & Conte 2004; Huang et al. 2006). RNAi merupakan mediator untuk menekan ekpresi gen-gen patogen yang masuk ke dalam tanaman inang. Mekanisme diawali dengan mentriger double strand RNA/dsRNA. dsRNA menekan ekspresi gen yang sesuai dengan urutan dsRNA. Mekanisme yang unik dari gene silencing telah ditemukan dan dipelajari pada beberapa kelas eukariot. Sekuen nukleotida spesifik dari RNA menginduksi degradasi mRNA atau penghambatan translasi pada tingkat pasca transkripsi (dinamai dengan PTGS dalam tanaman) atau modifikasi epigenetik pada tingkat transkripsi, bergantung pada RNA-directed DNA methylation (Aufsatz et al. 2002; Matzke et al. 2007; Zhang & Zhu 2011).

Sumber: web.standford.edu
Pada organisme eukariotik, khususnya tanaman, gene silencing berperan besar dalam keseimbangan ini dengan menghubungkan pemograman perkembangan dan respon lingkungan secara dinamis untuk ekspresi gen melalui pembungkaman transkripsi gen (transcriptional gene silencing/TGS) dan pembungkaman pasca-transkripsi gen (post-transcriptional gene silencing/PTGS). Dalam tanaman, kisaran target PTGS dari gen dalam merespon stress hingga gen yang memperbaiki jenis sel spesifik dan organ tertentu, sedangkan fungsi utama TGS untuk menekan transkripsi elemen dan sisa genetik, suatu mekanisme yang bisa juga mengatur ekspresi gen dalam merespon pengaruh lingkungan atau stress (Depicker & Van Montagu 1997; Hammond et al. 2001; Vaucheret et al. 2001).

Patogen tanaman adalah penyebab banyak penyakit tanaman dan menghasilkan kerusakan terhadap produksi pangan. Dahulu, metode konvensional pernah digunakan untuk melawan infeksi patogen pada tanaman yaitu proteksi silang dan pemanfaatan ketahanan alami dalam tanaman. Perintis dalam ketahanan dengan media protein selubung (coat protein) memperkenalkan tentang konsep ketahanan terhadap patogen dan  strategi yang cepat dalam rekayasa ketahanan tanaman (Abel et al. 1986; Anandalakshmi et al. 1998; Holzberg et al. 2002). Gene silencing terdiri dari beberapa komponen:
  1. dsRNA sebagai trigger merupakan RNA yang masih terikat dengan ikatan hidrogen.
  2. Protein Dicer atau Dicer-like (DCL) meruapakan protein yang berfungsi sebagai pemutus dsRNA menjadi utas yang pendek dengan bantuan enzim ribonuklease.
  3. Small RNA (siRNAs atau miRNAs) merupakan hasil dari pemotongan dsRNA
  4.  Efektor RISC (RNA dengan protein AGO/Argonaute) merupakan RNA yang berikatan dengan protein Argonaute yang berfungsi sebagai pemotong gen target.
Gene silencing (disebut juga RNA interference (RNAi), RNA silencing, quelling, co-suppression) merupakan mekanisme kompleks dengan cara yang bervariasi sebagai pengendali ekpresi gen pada saat tingkat transkripsi dan setelah transkripsi. Berdasarkan jenisnya, pembungkaman diinisiasi oleh molekul utas ganda RNA (double stranded RNA/ dsRNA) yang dipecah oleh Type III RNase yang disebut dengan Dicer (DCR atau DCL) menjadi 21 bp pasang basa pendek yang diketahui sebagai short interfering RNAs (siRNAs). RNA dupleks ini lepas dan utas antisense bergabung dengan protein Argonate (AGO) yang terikat dengan RICS (RNA-Induced Silencing Complex), yang kemudian akan berikatan homolog dengan mRNA target dan mendegradasinya (Jacobsen et al. 1999; Vance & Vaucheret 2001; Waterhouse & Helliwell 2003; Baumberger & Baulcombe 2005; Pratt & MacRae 2009).

PUSTAKA:
  • Abel PP, Nelson RS, De B, Hoffmann N, Rogers SG, Fraley RT, Beachy RN. 1986. Delay of disease development in transgenic plants that express the tobacco mosaic virus coat protein gene. Science. 232(4751):738-743.
  • Anandalakshmi R, Pruss GJ, Ge X, Marathe R, Mallory AC, Smith TH, Vance VB. 1998. A viral suppressor of gene silencing in plants. Proceedings of the National Academy of Sciences. 95(22):13079-13084.
  • Aufsatz W, Mette MF, van der Winden J, Matzke AJ, Matzke M. 2002. RNA-directed DNA methylation in Arabidopsis. Proceedings of the National Academy of Sciences. 99(4):16499-16506.
  • Baumberger N, Baulcombe D. 2005. Arabidopsis ARGONAUTE1 is an RNA Slicer that selectively recruits microRNAs and short interfering RNAs. Proceedings of the National Academy of Sciences. 102(33):11928-11933.
  • Depicker A, Van Montagu M. 1997. Post-transcriptional gene silencing in plants. Current Opinion in Cell Biology. 9(3):373-382.
  • Dinesh-Kumar S, Anandalakshmi R, Marathe R, Schiff M, Liu Y. 2003. Virus-induced gene silencing. Plant Functional Genomics 55(2):287-293.
  • Fire A. 1999. RNA-triggered gene silencing. Trends in Genetics. 15(9):358-363.
  • Hammond SM, Caudy AA, Hannon GJ. 2001. Post-transcriptional gene silencing by double-stranded RNA. Nature Reviews Genetics. 2(2):110-119.
  • Hannon GJ. 2002. RNA interference. Nature. 418(6894):244-251.
  • Hewezi T, Baum TJ. 2015. Chapter nine-gene silencing in nematode feeding sites. Advances in Botanical Research. 73:221-239.
  • Holzberg S, Brosio P, Gross C, Pogue GP. 2002. Barley stripe mosaic virusinduced gene silencing in a monocot plant. The Plant Journal. 30(3):315-327.
  • Huang G, Allen R, Davis EL, Baum TJ, Hussey RS. 2006. Engineering broad root-knot resistance in transgenic plants by RNAi silencing of a conserved and essential root-knot nematode parasitism gene. Proceedings of the National Academy of Sciences. 103(39):14302-14306.
  • Jacobsen SE, Running MP, Meyerowitz EM. 1999. Disruption of an RNA helicase/RNAse III gene in Arabidopsis causes unregulated cell division in floral meristems. Development. 126(23):5231-5243.
  • Matzke M, Kanno T, Huettel B, Daxinger L, Matzke AJ. 2007. Targets of RNA-directed DNA methylation. Current Opinion in Plant Biology. 10(5):512-519.
  • Mello CC, Conte D. 2004. Revealing the world of RNA interference. Nature. 431(7006):338-342.
  • Pratt AJ, MacRae IJ. 2009. The RNA-induced silencing complex: a versatile gene-silencing machine. Journal of Biological Chemistry. 284(27):17897-17901.
  • Vance V, Vaucheret H. 2001. RNA silencing in plants-defense and counterdefense. Science. 292(5525):2277-2280.
  • Vaucheret H, Béclin C, Fagard M. 2001. Post-transcriptional gene silencing in plants. Journal of Cell Science. 114(17):3083-3091.
  • Waterhouse PM, Helliwell CA. 2003. Exploring plant genomes by RNA-induced gene silencing. Nature Reviews Genetics. 4(1):29-38.
  • Waterhouse PM, Wang M-B, Lough T. 2001. Gene silencing as an adaptive defence against viruses. Nature. 411(6839):834-842.
  • Zhang H, Zhu J-K. 2011. RNA-directed DNA methylation. Current Opinion in Plant Biology. 14(2):142-147. 

Bioekologi Fusarium oxysporum

Cendawan Fusarium oxysporum tergolong dalam filum Deutoromycota, ordo Hypomycetes, famili Tuberculariaceae. Pada media potato dextrose agar (PDA) koloni F. oxysporum berwarna jingga muda (Gambar 1). Makro konidia cendawan ini berbentuk lurus, dan sedikit bengkok dengan tiga sekat, sedangkan mikrokonidianya berbentuk agak lonjong dan tidak bersekat. Cendawan ini memiliki klamidospora yang dapat ditemukan pada permukaan media, terbenam dalam media, atau di permukaan hifa (Summerell et al. 2003; Bosland 2013).

Fusarium oxysporum pada media PDA
Sumber: http://www.sun.ac.za/english/faculty/agri/plant-pathology/ac4tr4/background/banana-fusarium-wilt-fungus
Sumber inokulum F. oxysporum yang menyerang tanaman dapat berasal dari tanah, terbawa bibit, atau material tanaman yang telah terinfeksi. Cendawan ini akan maksimal menginfeksi inangnya pada suhu 22oC sampai dengan 38oC (Smith et al. 2001; Özer dan Köycü 2004). F. oxysporm diketahui sebagai patogen tular tanah yang dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama meskipun tidak ada tanaman inang (Fravel et al. 2003). Patogen ini dikelompokkan kedalam golongan patogen lemah, namun keberadaan nematoda R. similis yang melukai bagian akar tanaman lada menyebabkan cendawan F. oxysporum mudah untuk meginfeksi tanaman dikarenakan terdapat lubang sebagai tempat masuknya cendawan (Ploetz 2006; Shahnazi et al. 2012).

Pada meda OA dan PDA di suhu 25oC koloni F. oxysporum dapat mencapai diameter 3,5 sampai dengan 5 cm (Nishimura 2007). Miselia aerial tampak jarang atau banyak seperti kapas, kemudian menjadi seperti beludru, berwarna putih atau salem dan biasanya agak keunguan yang tampak lebih kuat pada permukaan medium. Konidiofor cendawan ini dapat bercabang dapat tidak, dan membaw monofialid. Mikrokonidia F. oxysporum bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada fialid yang sederhana, atau terbentuk fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang pendek. Makrokonidia hanya terdapat pada beberapa strain, terbentuk pada fialid yang terdapat pada konidiofor bercabang atau dalam sporodokhia, bersepta 3-5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok, meruncing pada kedua ujungnya dan sel kaki berbentuk pediselata, umumnya bersepta 3, dan berukuran (27-46)x3,0-4,5 µm (Stack et al. 2003; Leslie et al. 2006)

Populasi patogen dapat bertahan secara alami di dalam tanah dan pada akar-akar tanaman sakit. Apabila terdapat tanaman peka, melalui akar yang luka dapat segera menimbulkan infeksi. Sehingga perkembangan klamidospora dirangsang oleh keadaan akar tanaman yang lemah, pelukaan pada akar akan memproduksi zat-zat (seperti asam amino, gulamin) yang dapat mendorong pertumbuhan spora (Seong et al. 2008). Selain  itu penyebaran  cendawan  yang luas secara alami dapat disebabkan oleh adanya curah hujan dan angin, selain oleh bantuan bibit atau partikel tanah. Adanya curah hujan yang tinggi akan membantu sebaran cendawan  patogen tular tanah ke daerah lain yang lebih jauh, baik karena percikan maupun ikut aliran air. Fusarium sp membentuk sporangium yang berperan di dalam sebaran patogen karena hujan, selain karena angin (Rossi et al. 2002; Munkvold 2003; Shaner et al. 2003).

F. oyxsporum menginfeksi tanaman inangnya melalui akar. Olivain et al. (2003) melaporkan bahwa cendawan ini tidak dapat menginfeksi batang atau akar-rimpang meskipun bagian ini dilukai. Keberadan R. similis dapat membantu dalam infeksi F. oxysporum pada tanaman lada. Gejala akibat infeksi oleh cendawan ini pada lada adalah pada daun-daun bagian bawah berwarna kuning orange, lalu menjadi coklat dan mengering, tangkai daun patah di sekeliing batang palsu. Gejala pada daun dapat terlihat yaitu dengan terjadinya perbahan bentuk dan ukuran ruas daun yang baru muncul lebih pendek (Daras dan Pranowo 2009).

Pustaka:
  • Bosland P. 2013. Fusarium oxysporum, a pathogen of many plant species. Di dalam: Sidhu GS, editor. Genetics of Plant Pathogenic Fungi volume 6. New York (USA): Academic Press. hlm 281-289.
  • Daras U, Pranowo D. 2009. Kondisi kritis lada putih Bangka Belitung dan alternatif pemulihannya. Jurnal Litbang Pertanian. 28(1):1-6.
  • Fravel D, Olivain C, Alabouvette C. 2003. Fusarium oxysporum and its biocontrol. New Phytologist. 157(3):493-502.
  • Leslie JF, Summerell BA, Bullock S. 2006. The Fusarium laboratory manual. New York (USA): Blackwell Publishing.
  • Munkvold GP. 2003. Epidemiology of Fusarium diseases and their mycotoxins in maize ears. Di dalam: Xu X, Bailey JA, Cooke BM, editor. Epidemiology of Mycotoxin Producing Fungi. Netherlands (NDL): Springer. hlm 705-713.
  • Nishimura N. 2007. Selective media for Fusarium oxysporum. Journal of General Plant Pathology. 73(5):342-348.
  • Olivain C, Trouvelot S, Binet M-N, Cordier C, Pugin A, Alabouvette C. 2003. Colonization of flax roots and early physiological responses of flax cells inoculated with pathogenic and nonpathogenic strains of Fusarium oxysporum. Applied and environmental microbiology. 69(9):5453-5462.
  • Özer N, Köycü ND. 2004. Seed-borne fungal diseases of onion, and their control. Di dalam: Mukerji KG, editor. Fruit and Vegetable Diseases. Netherlands (NDL): Springer. hlm 281-306.
  • Ploetz RC. 2006. Fusarium-induced diseases of tropical, perennial crops. Phytopathology. 96(6):648-652.
  • Rossi V, Languasco L, Pattori E, Giosuè S. 2002. Dynamics of airborne Fusarium macroconidia in wheat fields naturally affected by head blight. Journal of Plant Pathology. 84(1):53-64.
  • Seong K-Y, Zhao X, Xu J-R, Güldener U, Kistler HC. 2008. Conidial germination in the filamentous fungus Fusarium graminearum. Fungal Genetics and Biology. 45(4):389-399.
  • Shahnazi S, Meon S, Vadamalai G, Ahmad K, Nejat N. 2012. Morphological and molecular characterization of Fusarium spp. associated with yellowing disease of black pepper (Piper nigrum L.) in Malaysia. Journal of General Plant Pathology. 78(3):160-169.
  • Shaner G, Leonard K, Bushnell W. 2003. Epidemiology of Fusarium head blight of small grain cereals in North America. Di dalam: Leonard KJ, Bushnell WR, editor. Fusarium head blight of wheat and barley. New York (USA): CABI Publishing. hlm 84-119.
  • Smith SN, DeVay JE, Hsieh W-H, Lee H-J. 2001. Soil-borne populations of Fusarium oxysporum f. sp. vasinfectum, a cotton wilt fungus in California fields. Mycologia. 93(4):737-743.
  • Stack R, Leonard K, Bushnell W. 2003. History of Fusarium head blight with emphasis on North America. Di dalam: Leonar KJ, Bushnell WR, editor. Fusarium head blight of wheat and barley. New York (USA): CABI Publishing. hlm1-34.
  • Summerell BA, Salleh B, Leslie JF. 2003. A utilitarian approach to Fusarium identification. Plant disease. 87(2):117. 

Bioekologi Nematoda Puru Akar Meloidogyne spp.

Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) pertama ditemukan  pada tahun 1855 oleh Barkeley pada tanaman ketimun. Sampai saat ini telah  diidentifikasi sekitar 100 spesies Meloidogyne (De Ley et al. 2002; Karssen et al. 2006). Menurut Karssen (2002)  taksonomi Meloidogyne spp. adalah sebagai berikut :

Filum
Klas
Sub klas
Ordo
Sub ordo
Super famili
Famili
Sub famili
Genus
Spesies
Nemata atau Nematoda
Secernantea
Diplogaster
Tylenchida
Tylenchina
Heteroderidae
Heteroderidae
Melodogyneninae
Meloidogyne
Meloidogyne spp.

Beberapa spesies nematoda ini yang paling banyak ditemukan adalah:  M .incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M. chitwoodi, dan M.  graminicola Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) merupakan nematoda  parasit tanaman yang paling merusak dan tersebar luas di seluruh dunia terutama  di daerah tropik. Meloidogyne spp. dapat menyerang sekitar 2000 jenis tanaman  yang meliputi hampir seluruh jenis tanaman yang dibudidayakan (Hussey dan Janssen 2002; Moens et al. 2009).

Nematoda puru akar memiliki telur berbentuk bulat lonjong dan diletakkan di dalam kantong telur yang terdapat di luar tubuhnya. Untuk melindungi telur  dari kekeringan dan organisme lain, nematoda puru akar mensekresikan telurnya melalui kelenjar rektrum, kemudian diletakkan dalam masa gelatinus (Orion dan Kritzman 2001). Larva instar I berada di dalam telur dan menetas menjadi larva instar II. Larva tersebut  kemudian bergerak di dalam tanah menuju akar tanaman yang sedang tumbuh. Ditempat ini larva kemudian menetap dan menyebabkan perubahan sel akibat  aktivitas makannya (Abad et al. 2003)

Perkembangan nematoda dipengaruhi oleh tipe tanah. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi perkembangan nematoda adalah tekstur tanah, aerasi, kelembapan, pH, kandungan bahan organik dan anorganik tanah. Nematoda menyukai lingkungan yang lembab dan aerasi yang baik. Pertukaran udara di dalam tanah akan mempengaruhi perkembangan nematoda. Perkembangan nematoda akan baik jika keadaan udara di dalam tanah cukup. Kondisi oksigen yang rendah di dalam tanah dapat menghambat penetasan telur nematoda. Selain berpengaruh terhadap penetasan telur, oksigen juga mempengaruhi pergantian kulit nematoda (Akhtar dan Malik 2000; Oka dan Yermiyahu 2002; Butler et al. 2012).

Meloidogyne spp. berkembang dengan 4 stadium  larva dan dewasa. Nematoda mengalami pergantian kulit pertama di dalam telur,  sedangkan tiga pergantian lainnya terjadi di dalam jaringan tanaman. Lamanya  siklus hidup dari telur hingga menjadi dewasa berlangsung tiga minggu sampai  beberapa bulan. Waktu yang diperlukan untuk menjalani siklus hidup nematoda bergantung pada kondisi lingkungan dan tumbuhan inangnya. Nematoda  memerlukan 7 sampai 10 hari untuk berkembang dari telur menjadi larva instar  kedua (Gambar 1) (Curto et al. 2005; Karssen et al. 2006). Selain itu Huettel (2004) dan Liu et al. (2007) juga mengungkapkan berdasar hasil observasi lapang menunjukkan  adanya nematoda betina yang terus-menerus menghasilkan telur selama dua  sampai tiga bulan tanpa kawin dan terus hidup untuk beberapa waktu lamanya  setelah berhenti menghasilkan telur. Tingkat oksigen yang rendah di sekitar akar  tanaman dapat menurunkan pertumbuhan dan daya reproduksi nematoda. Soriano et al. (2000) menyatakan bahwa penggenangan terus menerus pada  tanaman padi dapat menurunkan populasi Meloidogyne graminicola. Hal tersebut  dikarenakan pada tanah yang tergenang akan kekurangan oksigen.

Gambar 1  Siklus hidup nematoda pur akar Meloidogyne spp.
Sumber: http://hawaiiplantdisease.net/Koa-diseases.php
Nematoda puru akar menyerang tanaman melalui ujung akar dan menyebabkan terbentuknya pembengkakan akar. Akibat terbentuknya puru tersebut penyerapan hara dan air oleh tanaman menjadi terhambat dan terjadi aliran fotosintat dari bagian atas tanaman menuju puru akar, yang kemudian menjadi sumber nutrisi nematoda, akibatnya pertumbuhhan tanaman menjadi merana (Bartlem et al. 2013). Gejala di atas permukaan tanah, pertumbuhan merana, daun lebih sedikit berwarna hijau pucat kadang menguning, tanaman tanpak layu pada saat cuaca terik, buah yang terbentuk berkurang dengan kualitas yang rendah terhambatnya pertumbuhan anakan dan cabang serta tertundanya waktu pembungaan tanaman (Moens et al. 2009)

Pada sebagian besar tanaman yang memiliki kerentanan tinggi terhadap serangan nematoda puru akar biasanya akan terlihat jelas gejala serangannya. Pada akar yang sangat kecil diameter puru berkisar 1 sampai 2 mm, sedangkan pada akar besar diameter puru berkisar 1 cm. Puru akar besar biasanya berisi beberapa nematoda betina, sedangkan pada puru akar kecil hanya berisi satu nematoda betina (Starr et al. 2002).

Pustaka:
  • Abad P, Favery B, Rosso MN, CastagnoneSereno P. 2003. Rootknot nematode parasitism and host response: molecular basis of a sophisticated interaction. Molecular Plant Pathology. 4(4):217-224.
  • Akhtar M, Malik A. 2000. Roles of organic soil amendments and soil organisms in the biological control of plant-parasitic nematodes: a review. Bioresource Technology. 74(1):35-47.
  • Bartlem DG, Jones MG, Hammes UZ. 2013. Vascularization and nutrient delivery at root-knot nematode feeding sites in host roots. Journal of experimental botany. 65(7):1789-1798.
  • Butler DM, Kokalis-Burelle N, Muramoto J, Shennan C, McCollum TG, Rosskopf EN. 2012. Impact of anaerobic soil disinfestation combined with soil solarization on plant–parasitic nematodes and introduced inoculum of soilborne plant pathogens in raised-bed vegetable production. Crop Protection. 39:33-40.
  • Curto G, Dallavalle E, Lazzeri L. 2005. Life cycle duration of Meloidogyne incognita and host status of Brassicaceae and Capparaceae selected for glucosinate content. Nematology. 7(2):203-212.
  • De Ley IT, De Ley P, Vierstraete A, Karssen G, Moens M, Vanfleteren J. 2002. Phylogenetic analyses of Meloidogyne small subunit rDNA. Journal of Nematology. 34(4):319-327.
  • Huettel RN. 2004. Reproductive Behaviour.Di dalam: Gaugler R, Bilgrami AL, editor. Nematode Behaviour. New Jersey (USA): CABI Publishing. hlm 127-150.
  • Hussey R, Janssen G. 2002. Root-knot nematodes: Meloidogyne species. Di dalam: Satrr JL, Cook R, Bridge J, editor. Plant resistance to parasitic nematodes. New York (USA): CABI Publishing. hlm 43-70.
  • Karssen G. 2002. The plant parasitic nematode genus Meloidogyne Goeldi, 1892 (Tylenchida) in Europe. Netherlands (NDL): Brill. hlm 1-15.
  • Karssen G, Moens M, Perry RN. 2006. Root-knot nematodes. Di dalam: Perry RN, Moens M, editor. Plant nematology. Wageningen (NDL): CABI Publishing. hlm 59-90.
  • Liu QL, Thomas VP, Williamson VM. 2007. Meiotic parthenogenesis in a root-knot nematode results in rapid genomic homozygosity. Genetics. 176(3):1483-1490.
  • Moens M, Perry RN, Starr JL. 2009. Meloidogyne species–a diverse group of novel and important plant parasites. Di dalam: Perry RN, Moens M, Starr JL, editor. Root-knot nematodes. Cambridge (USA): CAB International. hlm 1-17.
  • Oka Y, Yermiyahu U. 2002. Suppressive effects of composts against the root-knot nematode Meloidogyne javanica on tomato. Nematology. 4(8):891-898.
  • Orion D, Kritzman G. 2001. A role of the gelatinous matrix in the resistance of root-knot nematode (Meloidogyne spp.) eggs to microorganisms. Journal of nematology. 33(4):203-207.
  • Soriano IR, Prot J-C, Matias DM. 2000. Expression of tolerance for Meloidogyne graminicola in rice cultivars as affected by soil type and flooding. Journal of nematology. 32(3):309-317.
  • Starr J, Bridge J, Cook R. 2002. Resistance to plant-parasitic nematodes: history, current use and future potential. Di dalam: Starr JL, Cook R, Bridge J, editor.  Plant resistance to parasitic nematodes. New York (USA): CAB International. hlm 1-22.

Bioekologi Nematoda Peluka Akar Radopholus similis

Radopholus similis diklasifkasikan kedalam ordo Tylenchida, sub ordo Tylenchina, super famili Hoplolaimoidea, famili Pratylenchidae, sub famili Radopholinae, dan genus Radopholus (Ryss dan Wouts 1997). R. similis diketahui sebagai nematoda semi-endoparasit karena hidup di dalam akar tanaman inang, kemudian bermigrasi ke tanaman lain melalui tanah. Nematoda ini juga dikenal sebagai nematoda peluka akar, karena gejala yang ditimbulkan oleh serangan R. similis sangat spesifik, yaitu adanya luka dan rongga pada akar. Nematoda betina dewasa dapat hidup lama di dalam tanah yang lembab, tetapi dalam kondisi ini larva akan segera mati (Kaplan dan Opperman 2000; De Waele dan Elsen 2002).

Infeksi oleh R. similis dilakukan oleh nematoda betina dari ujung rambut akar. Setelah nematoda berhasil masuk kedalam jaringan akar tanaman, R. similis akan bergerak di dalam jaringan akar dan mengakibatkan terbentuknya terowongan longitudinal melalui parenkim. Terbentuknya terowongan di dalam jaringan akar menyebabkan kerusakan pada jaringan akar. Pada jaringan akar yang rusak tersebut, akar akan mati dan tampak bercak-bercak luka yang gelap (Barekye et al. 2000). Pada bagian akar yang mati, akan diikuti oleh infeksi dari mikroorganisme lain seperti bakteri dan cendawan yang menyebabkan busuk akar (Gambar 1) (Hillocks dan Wydra 2002). Waktu yang dibutuhkan oleh R. similis untuk menyerang akar berkisar antara 24 sampai dengan 72 jam tergantung pada kondisi lingkungan dan ketahanan inang. Pada kondisi lingkungan yang kurang mendukung dan inang yang tahan, maka R. similis membutuhkan waktu 5 sampai dengan 6 hari untuk masuk kedalam jaringan akar tanaman (Price 2006).

Gambar 1  Gejala infeksi Radopholus similis pada akar pisang
Sumber: http://entnemdept.ufl.edu/creatures/NEMATODE/Radopholus_similis.htm

R. similis merupakan nematoda bersifat sexual dimorphis pada bagian anterior, yaitu bentuk nematoda jantan dan betina dapat dibedakan dengan jelas. Nematoda jantan bagian kepalanya lebih tinggi, membulat, menyerupai knop dan lebih melekuk (Elbadri et al. 1999; De Waele dan Elsen 2002). Panjang tubuh R. similis  berkisar antara 0,4 sampai dengan 0,9 mm dengan diameter 25 µm dengan bentuk lurus, dan melengkung saat istirahat. Bagian ekor R. similis  berbentuk kerucut, memanjang, melengkung ke arah ventral dan bursanya tidak mencapai ujung ekor. Nematoda ini memiliki testis tunggal dan bursa meluas sampai dua pertiga ekor. Nematoda R. similis betina memiliki panjang antara 0,51 sampai dengan 0,88 mm. Bagian kepala lebih rendah, membulat, lurus, atau sedikit berlekuk dengan garis kontur tubuh, vulva berada di bagian tengah tubuh sekitar 55-65% (Ploetz et al. 2003; Trinh et al. 2012).

Pustaka:
  • Barekye A, Kashaija I, Tushemereirwe W, Adipala E. 2000. Comparison of damage levels caused by Radopholus similis and Helicotylenchus multicinctus on bananas in Uganda. Annals of Applied Biology. 137(3):273-278.
  • De Waele D, Elsen A. 2002. Migratory endoparasites: Pratylenchus and Radopholus species. Di dalam: Starr JR, Cook R, Bridge J, editor. Plant resistance to parasitic nematodes. Oxon (UK): CAB International. hlm 175-206.
  • Elbadri GA, Geraert E, Moens M. 1999. Morphological differences among Radopholus similis (Cobb, 1893) Thorne, 1949 populations. Russian Journal of Nematology. 7(2):139-153.
  • Hillocks RJ, Wydra K. 2002. Bacterial, fungal and nematode diseases. Di dalam: Hillocks RJ, Thresh JM, Bellotti AC, editor. Cassava: biology, production and utilization. New York (USA): CABI Publishing. hlm 261-280.
  • Kaplan D, Opperman C. 2000. Reproductive strategies and karyotype of the burrowing nematode, Radopholus similis. Journal of Nematology. 32(2):126-133.
  • Ploetz RC, Thomas JE, Slabaugh W. 2003. Diseases of banana and plantain. Di dalam: Ploetz RC, editor. Diseases of tropical fruit crops. New York (USA): CABI Publishing. hlm 73-134.
  • Price NS. 2006. The banana burrowing nematode, Radopholus similis (Cobb) Thorne, in the Lake Victoria region of East Africa: its introduction, spread and impact. Nematology. 8(6):801-817.
  • Ryss A, Wouts W. 1997. The genus Radopholus (Nematoda: Pratylenchidae) from native vegetation in New Zealand, with descriptions of two new species. International Journal of Nematology. 7:1-17.
  • Trinh PQ, Waeyenberge L, Nguyen CN, Moens M. 2012. Morphological and molecular diversity of Radopholus on coffee in Vietnam and description of R. daklakensis sp. n. from Robusta coffee. Nematology. 14(1):65-83. 

Penyakit Kuning Pada Tanaman Lada di Indonesia

Rempah-rempah merupakan salah satu produk yang memiliki peran penting dalam dunia perdagangan internasional. Salah satu komoditi dari rempah-rempah adalah lada (Piper nigrum L). Lada menjadi produk yang diminati dalam dunia perdagangan karena produk ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa kebutuhan, diantaranya adalah sebagai bumbu masak, obat-obatan, bahan baku minuman dan parfum. Selain itu lada juga diketahui memiliki aktifitas antioksidan yang cukup baik (Gülçin 2005; Meghwal dan Goswami 2013). Sepanjang tahun 2013 Indonesia telah mengekspor lada ke 45 negara dengan total volume 47.907.859 Kg dan nilai US$ 346.975.553 (Kementan 2015).

Indonesia memiliki beberapa daerah sentra produksi lada, salah satunya adalah Kepulauan Bangka Belitung. Pada tahun 2010 sampai dengan 2012 luas areal tanaman lada di Kepulauan Bangka Belitung meningkat bertahap. Peningkatan luas areal tanaman lada juga diikuti oleh peningkatan produksi lada pada tahun yang sama (Tabel 1) (Kementan 2015).

Tabel 1 Luas areal tanaman lada dan produksi lada di Kepualauan Bangka Belitung
Tahun
Luas Areal (Ha)
Produksi (Kg)
2010
2011
2012
36.373
39.165
41.864
18.383
28.242
30.717
Sumber : Kementan 2015

Budidaya tanaman lada di Kepulauan Bangka Belitung saat ini tengah menghadapi masalah, yaitu munculnya penyakit kuning (Gambar 1). Penyakit kuning merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman lada di Indonesia. Penurunan hasil yang disebabkan oleh penyakit ini cukup signifikan, mencapai 32%. Penyakit ini disebabkan oleh keadaan yang sangat kompleks, yaitu infeksi nematoda Meloidogyne incognita, Radopholus similis, dan cendawan Fusarium oxysporum, serta rendahnya kesuburan tanah. Ketiga patogen diatas bersinergi menginfeksi tanaman lada. Nematoda M. incognita dan R. Similis menginfeksi bagian akar tanaman lada sehingga menimbulkan luka pada akar tanaman, luka tersebut akan dimanfaatkan oleh cendawan F. oxysporum untuk melakukan penetrasi kedalam jaringan akar tanaman lada. Di Indonesia, penyakit kuning pertama kali ditemukan di daerah Bangka oleh Van Der Vecht pada tahun 1932, kemudian penyakit tersebut ditemukan juga di beberapa daerah lain seperti di Kalimantan Barat (Mustika 2005; Daras dan Pranowo 2009).

Tanaman lada yang sakit akan menunjukkan gejala di atas permukaan tanah, dan gejala di bawah permukaan tanah. Gejala penyakit kuning diawali dengan terhambatnya pertumbuhan tanaman yang terinfeksi yang akan diikuti oleh menguningnya daun-daun pada tanaman tersebut. Perubahan warna kuning pada daun tanaman yang terinfeksi dimulai dari bagian bawah tanaman, dan kemudian akan merambat ke bagian atas tanaman. Daun yang telah menguning pada tanaman lada yang terinfeksi tidak menjadi layu, namun akan menjadi rapuh, sehingga daun-daun tersebut secara bertahap akan gugur, diikuti oleh gugurnya dahan dan sulur panjat sehinga tanaman menjadi gundul dan mati (Harni dan Munif 2012; Shahnazi et al. 2012).

Gambar 1  Gejala penyakit kuning pada tanaman lada
Sumber: http://cybex.pertanian.go.id/teknologi/detail/1997/pengendalian-penyakit-kuning-tanaman-lada

Bagian bawah tanah tanaman lada yang terinfeksi oleh penyakit kuning juga menunjukkan gejala yang khas. Akar tanaman lada yang terinfeksi akan terlihat rusak. Pada akar akan ditemui puru (bengkak) dan luka-luka nekrosis akibat serangan nematoda.  Puru yang terbentuk pada akar disebabkan oleh infeksi nematoda Meloidogyne spp., sedangkan luka dan nekrosis pada akar disebabkan oleh infeksi nematoda R. Similis (Daras dan Pranowo 2009).

Pustaka:
  • Daras U, Pranowo D. 2009. Kondisi kritis lada putih Bangka Belitung dan alternatif pemulihannya. Jurnal Litbang Pertanian. 28(1):1-6.
  • Gülçin İ. 2005. The antioxidant and radical scavenging activities of black pepper (Piper nigrum) seeds. International journal of food sciences and nutrition. 56(7):491-499.
  • Harni R, Munif A. 2012. Pemanfaatan agens hayati endofit untuk mengendalikan penyakit kuning pada tanaman lada. Buletin Riset Tanaman Rempah Dan Aneka Tanaman Industri. 3(3):201-206.
  • Kementan. 2015. Basis data statistik pertanian. [Internet]. Diakses pada 2 Oktober 2015. Url: http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/newkom.asp
  • Meghwal M, Goswami T. 2013. Piper nigrum and piperine: an update. Phytotherapy Research. 27(8):1121-1130.
  • Mustika I. 2005. Konsepsi dan strategi pengendalian nematoda parasit tanaman perkebunan di Indonesia. Perspektif. 4(1):20-32.
  • Shahnazi S, Meon S, Vadamalai G, Ahmad K, Nejat N. 2012. Morphological and molecular characterization of Fusarium spp. associated with yellowing disease of black pepper (Piper nigrum L.) in Malaysia. Journal of General Plant Pathology. 78(3):160-169. 

Penyakit Utama Tanaman Padi

Penyakit oleh bakteri

Bakteri yang menjadi patogen utama tanaman padi adalah Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo). Bakteri ini memiliki 8 jenis pato-tipe yang memiliki virulensi berbeda antar pato-tipenya (Gonzalez et al. 2007; Ryan et al. 2011). Gejala oleh infeksi Xoo pada tanaman muda (masa vegetatif) adalah daun tanaman menjadi kering, layu, dan dapat menyebabkan kematian (Gambar 1). Bila infeksi terjadi pada saat masa generatif, maka proses pengisian gabah menjadi tidak sempurna, gabah tidak terisi penuh, atau bahkan hampa. Pada kondisi seperti ini, kehilangan hasil dapat mencapai 50-70% (Savary et al. 2000; Strange dan Scott 2005).

Gambar 1  Gejala infeksi Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada padi
Sumber: http://www.rkmp.co.in/content/bacterial-leaf-blight-blb-of-rice-0
Xoo merupakan bakteri Gram negatif yang menyebabkan penyakit hawar daun bakteri (HDB) pada padi. HDB tergolong penyakit penting di banyak negara penghasil padi karena keagresifannya. Di Indonesia, munculnya HDB dilaporkan pada tahun 1950 dan hingga kini telah ditemukan 12 strain Xoo dengan tingkat virulensi yang berbeda. Strain IV dan VIII diketahui mendominasi serangan HDB pada tanaman padi di Indonesia (Utami et al. 2011; Fatimah et al. 2014). Keragaman komposisi strain Xoo juga dipengaruhi oleh stadium tumbuh tanaman padi. Dominasi kelompok strain yang ditemukan pada stadium anakan, berbunga, dan pemasakan berbeda. Fenomena ketahanan tanaman dewasa, mutasi, dan karakter heterogenisitas alamiah populasi mikroorganisme diperkirakan sebagai faktor yang mempengaruhi komposisi strain dengan stadium tumbuh tanaman padi (White dan Yang 2009).


Penyakit oleh nematoda
Meloidogyne graminicola menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan Indonesia. Nematoda ini mampu menginfeksi padi dan berkembang dengan angat cepat, serta memiliki mekanisme bertahan yang sangat baik. M. graminicola  dapat bertahan di tanah yang tergenang air setinggi 1 meter selama 5 bulan. M. graminicola juvenil 2 akan menginfeki padi pada bagian akar. Akar tanaman padi yang terinfeksi oleh nematoda ini akan menunjukkan gejala berpuru (Gambar 2) (Padgham et al. 2004; Dutta et al. 2012; Jain et al. 2012). Puru pada akar akan menganggu transport air dan hara dari tanah menuju seluruh bagian tanaman. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan terhambat, layu, hasil produksi berkurang, dan menyebabkan kematian apabila infeksi terjadi pada intensitas tinggi (De Waele dan Elsen 2007; Nicol et al. 2011).

Gambar 2  Gejala infeksi Meloidogyne graminicola pada padi
Sumber: http://www.rkmp.co.in/content/symptoms-of-damage-of-root-knot-nematodes

Penyakit oleh jamur/ cendawan

Jamur Pyricularia oryzae  merupakan salah satu patogen penting pada tanaman padi. Infeksi P. oryzae pada fase vegetatif menyebabkan gejala blas daun (leaf blast) sedangkan pada fase generatif menyebabkan busuk leher malai (neck blast) sehingga bulir padi menjadi hampa. Telah dilaporkan bahwa penyakit blas dapat menyebabkan gagal panen sebesar 30-50% di Amerika Selatan dan Asia Tenggara dengan kerugian mencapai jutaan dolar Amerika (Song dan Goodman 2001; Strange dan Scott 2005; Khush dan Jena 2009).

Infeksi P. oryzae pada fase vegetatif menyebabkan blas daun (leaf blast). Ciri-ciri gejala penyakit blas pada daun adalah timbulnya bercak berbentuk belah ketupat dengan ujung yang meruncing. Bercak yang sudah berkembang, bagian tepinya akan berwarna coklat dan bagian tengahnya berwarna putih keabu-abuan. Bercak tersebut akan terus meluas pada varietas tanaman padi yang rentan. Bercak tersebut dikelilingi oleh warna kuning pucat (halo area), terutama pada lingkungan yang kondusif seperti keadaan yang lembab (Koga 2001; Utami et al. 2010).


Penyakit oleh virus


Tungro adalah penyakit tanaman padi yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini biasanya terjadi pada fase pertumbuhan vegetatif dan menyebabkan tanaman jadi kerdil dan berkurang jumlah anakannya. Baik pelepah maupun helai daunnya memendek, daun yang terserang berubah warna menjadi kuning sampai kuning-oranye. Sedangkan  daun yang muda kebanyakan berlurik atau strip yang menunjukkan warna hijau pucat sampai putih dengan ukuran panjang yang beda sejajar dengan tulang daun. Gejala ini  dimulai dari ujung daun yang cenderung lebih tua. Daun yang menguningakan berkurang dengan sendirinya apabila daun yang lebih tua sudah mulai  terinfeksi (Jefferson dan Chancellor 2002; Vasudevan et al. 2002; Muralidharan et al. 2003). Biasanya epidemi penyakit ini dipengaruhi oleh populasi dua spesies wereng hijau Nephotettix malayanus dan N.virescens. Kedua spesies wereng tersebut adalah vektor bagi virus penyebab penyakit tungro (Jefferson dan Chancellor 2002; Widiarta 2005).


Pustaka:
  • De Waele D, Elsen A. 2007. Challenges in tropical plant nematology. Annu. Rev. Phytopathol. 45:457-485. 
  • Dutta TK, Ganguly AK, Gaur HS. 2012. Global status of rice root-knot nematode, Meloidogyne graminicola. African Journal of Microbiology Research. 6(31):6016-6021. 
  • Fatimah F, Mustopa AZ, Kusnandarsyah I. 2014. Identification and characterization of virulence factor of several Indonesian Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Microbiology Indonesia. 8(3):103-111.
  • Gonzalez C, Szurek B, Manceau C, Mathieu T, Séré Y, Verdier V. 2007. Molecular and pathotypic characterization of new Xanthomonas oryzae strains from West Africa. Molecular plant-microbe interactions. 20(5):534-546. 
  • Jain RK, Khan MR, Kumar V. 2012. Rice root-knot nematode (Meloidogyne graminicola) infestation in rice. Archives of Phytopathology and Plant Protection. 45(6):635-645. 
  • Jefferson OA, Chancellor T. 2002. The biology, epidemiology, and management of rice tungro disease in Asia. Plant Disease. 86(2):88-100. 
  • Khush GS, Jena K. 2009. Current status and future prospects for research on blast resistance in rice (Oryza sativa L.). Di dalam: Wang GL, Valent B, editor. Advances in genetics, genomics and control of rice blast disease. Netherlands (NLD): Springer. hlm 1-10.
  • Koga H. 2001. Cytological aspects of infection by the rice blast fungus Pyricularia oryzae. Di dalam: Koga H editor. Major fungal diseases of rice—Recent advances. Netherlands (NLD): Springer. hlm 87-110. 
  • Muralidharan K, Krishnaveni D, Rajarajeswari N, Prasad A. 2003. Tungro epidemics and yield losses in paddy fields in India. Current Science. 85(8):1143-1147. 
  • Nicol JM, Turner SJ, Coyne D, Den Nijs L, Hockland S, Maafi ZT. 2011. Current nematode threats to world agriculture. Di dalam: Jones J, Gheysen G, Fenoll C, editor. Genomics and molecular genetics of plant-nematode interactions. Netherlands (NLD): Springer. hlm 21-43.
  • Padgham J, Duxbury J, Mazid A, Abawi G, Hossain M. 2004. Yield loss caused by Meloidogyne graminicola on lowland rainfed rice in Bangladesh. Journal of nematology. 36(1):42. 
  • Ryan RP, Vorhölter F-J, Potnis N, Jones JB, Van Sluys M-A, Bogdanove AJ, Dow JM. 2011. Pathogenomics of Xanthomonas: understanding bacterium–plant interactions. Nature Reviews Microbiology. 9(5):344-355. 
  • Savary S, Willocquet L, Elazegui FA, Castilla NP, Teng PS. 2000. Rice pest constraints in tropical Asia: quantification of yield losses due to rice pests in a range of production situations. Plant disease. 84(3):357-369. 
  • Song F, Goodman RM. 2001. Molecular biology of disease resistance in rice. Physiological and molecular plant pathology. 59(1):1-11. 
  • Strange RN, Scott PR. 2005. Plant disease: a threat to global food security. Annual Review of Phytopathology. 43:83-116. 
  • Utami D, Ambarwati AD, Apriana A, Sisharmini A, Hanarida I, Moeljopawiro S. 2010. Keragaan sifat tahan penyakit blas dan agronomi populasi silang balik dan haploid ganda turunan IR64 dan Oryza rufipogon. Buletin Flasma Nutfah. 16(2):90-95. 
  • Utami DW, Kadir TS, Yuriyah S. 2011. Faktor Virulensi AvrBs3/PthA pada Ras III, Ras IV, Ras VIII, dan IXO93-068 Patogen Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae). Jurnal AgroBiogen. 7(1):1-8. 
  • Vasudevan P, Kavitha S, Priyadarisini VB, Babujee L, Gnanamanickam SS. 2002. Biological control of rice diseases. Di dalam: Gnamanickam SS, editor. Biological control of crop diseases. New York (US): Marcel Dekker. hlm 11-32. 
  • White FF, Yang B. 2009. Host and pathogen factors controlling the rice-Xanthomonas oryzae interaction. Plant Physiology. 150(4):1677-1686. 
  • Widiarta IN. 2005. Wereng hijau (Nephotettix virescens Distant): Dinamika populasi dan strategi pengendaliannya sebagai vektor penyakit tungro. Jurnal Litbang Pertanian. 24(3):85-92.